Kebijakan Timur Tengah: Konflik Iran-Israel Era Trump dan Biden, WW3?

Kebijakan Amerika Serikat terhadap Timur Tengah, khususnya terkait konflik antara Iran dan Israel, telah menjadi perhatian utama sejak kepemimpinan Donald Trump hingga saat ini di bawah Joe Biden dan Kamala Harris. Perbandingan antara kedua presiden ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam pendekatan diplomasi AS di kawasan yang penuh ketegangan ini.

Era Donald Trump, yang berlangsung hingga 2020, dikenal dengan kebijakan luar negeri yang agresif namun dianggap efektif dalam menciptakan stabilitas relatif. Salah satu pencapaian penting dari kepemimpinan Trump adalah penandatanganan Abraham Accords, yang merupakan kesepakatan perdamaian antara Israel dan beberapa negara Arab. Keberhasilan ini dikaitkan dengan langkah tegas Trump yang menarik AS dari perjanjian nuklir Iran, yang dinilai lemah dan tidak menguntungkan bagi sekutu-sekutunya, termasuk Israel. Pendekatan konfrontatif Trump pada saat itu berhasil meredakan beberapa ketegangan, meski metode ini sering menuai kritik dari sejumlah kalangan internasional.

Setelah pemilihan umum pada 2020, Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris mengambil alih kepemimpinan dengan pendekatan yang sangat berbeda. Mereka mengedepankan diplomasi dan kerjasama multilateral sebagai upaya utama untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah. Kebijakan pemerintahan Biden mencakup upaya memulihkan hubungan diplomatik dengan Iran dan merundingkan kembali perjanjian nuklir, meskipun hasilnya masih dipertanyakan. Situasi menjadi semakin rumit pada tahun 2024, ketika ketegangan antara Iran dan Israel kembali meningkat, hingga terjadi serangan-serangan yang memperburuk keadaan.

Kritik terhadap strategi diplomatik Biden muncul dari berbagai pihak, termasuk mantan jurnalis dan aktivis seperti Julian Assange, yang berpendapat bahwa kebijakan Biden menunjukkan kelemahan AS di mata Iran dan negara-negara di sekitarnya. Bahkan, di media sosial muncul spekulasi mengenai kemungkinan terjadinya Perang Dunia III jika situasi terus dibiarkan tanpa tindakan tegas. Ungkapan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat global terhadap potensi eskalasi konflik yang lebih besar.

Di tengah perdebatan ini, terdapat seruan dari kelompok-kelompok tertentu untuk mengembalikan Donald Trump ke kursi kepresidenan, dengan harapan bahwa pendekatan tegasnya terhadap isu-isu internasional dapat membawa stabilitas kembali ke Timur Tengah. Mereka beranggapan bahwa kebijakan Biden, yang lebih mengedepankan dialog, berpotensi memberikan ruang lebih bagi Iran untuk melanjutkan aktivitas militernya tanpa ada konsekuensi yang berarti.

Di sisi lain, Gedung Putih tetap optimis dalam menyikapi tantangan yang ada. Meskipun menghadapi kemarahan publik yang menginginkan tindakan lebih agresif, pemerintahan Biden percaya bahwa diplomasi adalah jalan terbaik untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Dalam sesi-sesi di Situation Room, Biden melihat langsung dinamika yang berkembang, dan upayanya untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara lain di kawasan diharapkan akan menghasilkan solusi yang lebih permanen.

Kebijakan AS di Timur Tengah, baik di era Trump maupun Biden, menunjukkan dinamika yang kompleks. Di satu sisi, Trump memprioritaskan pendekatan militer dan konfrontatif, sementara Biden memilih diplomasi dan kerjasama internasional. Asia Barat, khususnya konflik antara Iran dan Israel, tetap menjadi area yang rawan dan penuh tantangan. Meski jalan menuju perdamaian tampak sulit, dinamika ini mencerminkan pergeseran tren dalam kebijakan luar negeri AS yang terus berkembang, tergantung pada situasi dan kepemimpinan masing-masing presiden. Palang pintu keamanan global, terutama di kawasan ini, sangat bergantung pada bagaimana keputusan diambil dan dampaknya terhadap stabilitas regional.

Exit mobile version