Mantan wasit Liga Premier, David Coote, baru-baru ini menarik perhatian publik setelah dipecat oleh PGMOL (Professional Game Match Officials Limited) akibat perilaku mengejutkan yang terekam dalam video. Coote, yang terkenal selama kariernya sebagai wasit profesional, kini mengungkapkan bahwa perilakunya tersebut adalah hasil dari penyangkalan terhadap orientasi seksualnya yang sebenarnya. Dalam wawancara eksklusif dengan surat kabar The Sun, Coote mengonfirmasi bahwa ia adalah seorang gay, sebuah pengakuan yang tidak hanya mencengangkan dunia sepak bola tetapi juga menyoroti isu besar yang berkaitan dengan diskriminasi dalam olahraga.
Video pertama yang beredar di media sosial memperlihatkan Coote menggunakan bahasa kasar saat menggambarkan manajer Liverpool, Jürgen Klopp. Video kedua yang lebih memprihatinkan menunjukkan tindakan Coote yang diduga sedang mengkonsumsi narkoba, yang terjadi selama Kejuaraan Eropa. Kejadian ini menandai akhir dari kariernya sebagai wasit, walaupun PGMOL perlu melakukan proses yang benar sebelum mengambil keputusan akhir.
Dalam wawancaranya, Coote dengan jujur mengatakan bahwa selama masa remaja, ia mengalami rasa malu yang mendalam terkait orientasi seksualnya. “Saya tidak berani mengungkapkan kepada orang tua saya sampai usia 21 tahun, dan kepada teman-teman saya sampai usia 25 tahun,” ujarnya. Mengatasi perasaan ini menjadi tantangan besar yang berdampak pada kesehatan mental dan perilakunya.
Coote menekankan bahwa meskipun orientasi seksualnya mempengaruhi hidupnya, ada lebih banyak aspek yang turut berkontribusi pada perilaku buruknya. Ia menyebutkan, “Saya telah menyembunyikan emosi dan seksualitas saya sebagai wasit. Ini adalah kualitas yang baik sebagai wasit, tetapi kualitas yang buruk sebagai manusia.” Hal ini menyebabkan serangkaian perilaku yang merugikan dirinya sendiri dan kariernya.
Rasa percaya diri Coote juga terpengaruh oleh perjuangannya untuk menerima diri sendiri sebagai gay. “Saya sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan sepanjang karier saya, dan jika saya menambahkan orientasi seksual saya ke dalam campuran itu, semuanya akan semakin sulit,” tuturnya. Ini jelas menunjukkan kebutuhan mendesak akan dukungan bagi atlet yang mungkin mengalami tekanan serupa.
Lebih jauh lagi, Coote berbicara tentang perlunya upaya yang lebih besar di dunia sepak bola terkait diskriminasi. “Masih banyak yang perlu dilakukan di dunia sepak bola dan di masyarakat secara umum mengenai diskriminasi,” ungkapnya. Ia tidak ingin menjadi sosok yang ‘menampakkan kepala di atas parit’ untuk menjadi sasaran, mengingat perlakuan kasar yang sering diterima oleh wasit.
Meskipun masyarakat kini tampak lebih toleran terhadap orientasi seksual di publik, sepak bola sebagai olahraga masih tertinggal dengan baik. Bagi Coote, fakta bahwa berita tentang seseorang yang mengaku gay masih menjadi berita utama menunjukkan betapa banyak yang harus dilakukan dalam lingkungan olahraga untuk mendukung mereka yang tertekan dengan emosi dan perasaan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah David Coote menjadi pengingat bahwa setiap individu, terlepas dari orientasi seksualnya, memiliki hak untuk hidup tanpa merasa tertekan atau dipaksa untuk menyembunyikan diri. Bersama dengan upaya kolektif dari berbagai pihak, diharapkan dunia sepak bola dapat menjadi tempat yang lebih inklusif dan aman bagi semua orang.
Dunia olahraga, terutama sepak bola, harus terus berjuang untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua atlet, sehingga mereka dapat merasa aman untuk menjadi diri mereka sendiri dan meraih potensi penuh mereka tanpa rasa takut terhadap stigma atau diskriminasi.