Di tengah pergeseran dinamis di dunia kerja, generasi Z menghadapi tantangan besar yang diakibatkan oleh penggunaan smartphone dan media sosial yang berlebihan. Dalam forum ekonomi dunia di Davos, para pemimpin bisnis membahas bagaimana teknologi ini telah mengikis kreativitas dan kemampuan berkonsentrasi generasi muda. Menurut Jonathan Haidt, profesor di NYU dan penulis buku "The Anxious Generation," dampak negatif dari waktu layar yang berlebihan dapat mengganggu fungsi generasi Z dalam lingkungan kerja.
Sebagai salah satu kelompok yang paling terhubung secara digital, generasi Z sering kali terjebak dalam siklus penggunaan media sosial yang intens. Haidt menyatakan bahwa mereka "tidak memiliki waktu untuk merefleksikan, mengolah, atau bersikap kreatif." Hal ini mengarah pada ketidakmampuan untuk memperhatikan hal-hal penting dan menghambat peluang pengembangan diri. Pemimpin bisnis, seperti Martin Sorrell dari WPP, juga menyoroti bahwa generasi ini terpaksa beradaptasi dengan cara baru dalam mengonsumsi informasi, yaitu dengan lebih menyukai momen-momen singkat dibandingkan dengan kesenangan yang lebih lama.
Di tengah tantangan ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh perusahaan untuk mendukung generasi Z dan memfasilitasi pengembangan kreativitas mereka:
-
Mengadopsi Konsep Anti-Fragility: Haidt menekankan pentingnya menerapkan konsep anti-fragility, di mana individu tumbuh melalui tantangan dan umpan balik. Ini akan membantu generasi Z untuk memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari proses belajar.
-
Dialog Terbuka: Pemimpin harus menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa didengar. Haidt menyarankan agar perusahaan berbicara langsung dengan karyawan muda, mendengarkan kekhawatiran mereka, dan menunjukkan dukungan dalam perjalanan mereka menuju kesuksesan.
-
Memanfaatkan Teknologi: Meskipun smartphone mungkin tampak merugikan, tetapi ada cara untuk memanfaatkan teknologi tersebut untuk mempromosikan kreativitas. Menurut Ravin Jesuthasan, pengembangan teknologi seperti AI generatif dapat menawarkan metode baru bagi generasi Z untuk berinovasi dan berkolaborasi.
-
Fleksibilitas dalam Pembelajaran: Janet Truncale, CEO global EY, mengingatkan bahwa generasi Z memiliki metode belajar yang berbeda dan lebih menyukai pendekatan yang fleksibel. Perusahaan harus menyesuaikan metode pelatihan untuk memenuhi kebutuhan ini, seperti melalui sesi pelatihan online dan penggunaan platform media sosial.
- Penciptaan Ruang Kerja yang Kolaboratif: Untuk memfasilitasi kerja antar generasi, penting untuk menciptakan ruang di mana karyawan dari berbagai usia bisa berkolaborasi dan berbagi pengalaman mereka. Ini akan membantu menggabungkan pandangan tradisional dengan pendekatan inovatif dari generasi Z.
Dengan mengingat bahwa generasi Z akan menjadi 30% dari total angkatan kerja pada tahun 2030, penting bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan ini. Data dari Truncale menunjukkan bahwa di EY, generasi Z akan menyumbang sekitar 70% tenaga kerja pada tahun tersebut.
Generasi Z bukan hanya membawa tantangan bagi perusahaan, tetapi juga kesempatan untuk berinovasi dan memperbaiki cara kerja di masa depan. Para pemimpin yang siap untuk beradaptasi dengan kebutuhan generasi ini akan dapat memanfaatkan potensi mereka secara maksimal. Suatu hal yang pasti, dunia kerja akan terus dipengaruhi oleh cara berpikir baru dan metode kerja dari generasi Z, serta kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kreativitas mereka.