Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada Rabu kemarin telah menjadi sorotan dunia. Sebagai mantan presiden AS pertama yang dihadapkan pada dakwaan pidana, Trump kini menghadapi tantangan hukum yang signifikan. Keberhasilan Trump dalam kembali ke Gedung Putih ini berpotensi memberikan dampak besar terhadap kasus-kasus hukum yang sedang menjeratnya, yang meliputi tuduhan pemalsuan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Trump saat ini sedang berhadapan dengan empat kasus hukum yang berbeda. Kasus tersebut dimulai dari tuduhan pembayaran uang tutup mulut kepada bintang porno Stormy Daniels selama kampanyenya pada 2016 hingga upaya yang dia lakukan untuk membatalkan kekalahannya dalam pemilihan presiden 2020. Dalam perkembangan terbaru, sumber dari Departemen Kehakiman AS mengindikasikan bahwa mereka sedang mempertimbangkan cara untuk menghentikan dua dari empat dakwaan yang diajukan oleh Penasihat Khusus Jack Smith. Mengingat adanya kebijakan lama yang melarang penuntutan terhadap presiden yang sedang menjabat, situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan kasus-kasus hukum Trump.
Berdasarkan laporan Reuters, keputusan juri di New York pada bulan Mei menyatakan Trump bersalah atas pemalsuan catatan bisnis terkait pembayaran kepada Daniels. Hal ini menandai langkah bersejarah, di mana Trump menjadi mantan presiden AS pertama yang dihukum atas kejahatan serius. Meskipun demikian, Trump terus mengklaim bahwa semua tuduhan yang dihadapinya bermotif politik dan menegaskan ketidakbersalahannya.
Tak hanya itu, Trump juga telah menyatakan rencananya untuk memecat Jack Smith, yang memimpin kasus-kasus federalnya, "dalam dua detik" setelah dia dilantik kembali. Namun, tantangan hukum di New York terkait kasus uang tutup mulut dan kasus di Georgia tentang upayanya membatalkan hasil pemilu 2020 tampaknya akan tetap berlanjut. Terlepas dari statusnya sebagai presiden, kemungkinan besar Trump tidak akan terhindar dari sanksi hukum selama masa jabatannya.
Kristy Parker, seorang penasihat dari Protect Democracy, memberikan pandangannya bahwa meskipun Trump dapat menghentikan kasus-kasus tersebut, itu tidak berarti tindakannya benar. "Jika Trump benar-benar menghentikan kasus-kasus tersebut," ujarnya, "itu tidak mengubah fakta bahwa tindakannya telah menyalahi hukum."
Sebelum pelantikannya pada 20 Januari, setidaknya satu jadwal persidangan telah ditetapkan. Namun, para ahli hukum berpendapat bahwa persidangan ini mungkin tidak akan berlangsung. Dalam beberapa kasus lain, tim pengacara Trump diperkirakan akan meminta penundaan atau pemindahan kasus ke pengadilan federal, yang bisa menjadi hambatan hukum baru bagi penuntutan.
Berikut adalah ringkasan kasus-kasus hukum yang dihadapi Trump:
Kasus Uang Tutup Mulut di New York: Tim pengacara Trump diperkirakan akan meminta penundaan hukuman yang saat ini dijadwalkan pada 26 November. Penjatuhan hukuman kepada Trump sebelum Hari Pelantikan dapat menjadi preseden baru dalam sejarah AS.
Penuntutan Federal: Trump menghadapi tuduhan penyebaran klaim palsu tentang kecurangan pemilu di Washington, yang terkait dengan upayanya untuk menghalangi sertifikasi suara pemilu 2020. Penyimpanan dokumen rahasia juga menjadi bagian dari tuduhan ini.
- Kasus Pemerasan di Georgia: Di Georgia, Trump dihadapkan pada undang-undang pemerasan negara bagian atas dugaan upayanya membalikkan hasil pemilu di negara bagian tersebut. Pengacara Trump berupaya menghentikan proses hukum ini, meskipun kemungkinan besar kasus ini akan dilanjutkan.
Seiring dengan pemilihan umum yang semakin mendekat, situasi hukum Trump terus menjadi barometer ketegangan di kalangan pemilih dan pengamat politik. Banyak yang bertanya-tanya apakah kembalinya Trump ke Gedung Putih dapat memberikan perlindungan dari dakwaan hukum yang sedang berlangsung, atau justru akan menambah kompleksitas bagi situasi hukumnya di masa mendatang. Apapun hasilnya, kita akan menyaksikan bagaimana dinamika ini akan mempengaruhi lanskap politik AS dan proses hukum ke depan.